Terjual dan Mulai Digusur, Warga Toraja dan Kelimutu Ngadu ke DPRD

Terjual dan Mulai Digusur, Warga Toraja dan Kelimutu Ngadu ke DPRD

NUNUKAN - Setelah beberapa kali melakukan pertemuan, konflik lahan yang terjadi di Desa Binusan Dalam akhirnya dibawa ke hearing DPRD Nunukan, Senin (28/6/2021) pagi. 

Hearing ini dibuka langsung oleh Ketua DPRD Nunukan, Hj Leppa dan dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD Nunukan. Hadir juga dari Pemkab Nunukan serta perwakilan masyarakat yang mempersoalkan lahannya. 

Ada dua kelompok warga yang mempertanyakan lahan yang berada di Desa Binusan Dalam. Kedua kelompok itu, warga Toraja dan Kelimutu. Dua kelompok ini merasa dirugikan lantaran lahannya telah terjual dan mulai pengusuran oleh pengusaha lokal yang diklaim sebagai pembeli lahan. 

Setidaknya, ada ratusan hektar lahan warga dua kelompok ini miliknya telah dijual oleh seorang warga bernama Rasyid. Padahal, dua kelompok ini sama sekali tidak merasa menjualnya. 

Koto, mantan  ketua RT 6 di Desa Binusan dalam sejak tahun 2003 hingga 2009 lalu, mengatakan memang sejak tahun 2000 silam, dia sudah menggarap lahan yang di dalam. 

"Namun tahun 2004 sampai 2006 itu, baru terbit surat yang disebut surat pernyataan penguasaan tanah (SPPT). Karena, dulu kebun sudah digarap Dan masyarakat meminta untuk sebagai bukti yang pegang. Mereka lapor kepada RT dan RT melapor kepada Kades, dan terbitlah surat itu," jelasnya. 

Hal sama juga diungkapkan oleh Agus, warga Desa Binusan Dalam. Dia mengatakan semua batas sudah tentukan, namun ternyata lahan ini telah terjual kepada salah seorang pengusaha di Nunukan temasuk lahan yang diklaim milik warga Kalimutu. Imbasnya lahan tersebut mulai digusur oleh pengusaha. 

"Saya tanya jangan digusur ini punya warga, tapi mereka jawab mereka sudah beli diatas kertas. Saya bilang siapa yang menjual. Mereka bilang pak Rasyid," ungkapnya. 

Sementara itu, Rasyid mengaku lahan yang dijualnya adalah lahan milik keluarganya. 
"Saya tidak tahu persis mana tanah Toraja yang terjual. Karena dalam surat itu, bertempatan saya punya pak. Jadi, yang saya jual. Hanya hak saya, bukan hak orang Toraja. Saya minta tolong dicek lapangan. Kalau memang betul betul punya Toraja yang saya jual. Berarti saya yang kena sanksi," jelasnya. 

Untuk masyarakat Kelimutu, dia meminta maaf. Itu dikarenakan dirinya tidak ada sekolah dan buta huruf. Hanya saja, dia mengaku dulu ada pejanjian dengan Ketua Kalimutu untuk pencabutan lahannya lantaran tidak bisa dikelola dan meminta dicarikan orang yang mampu menggarap. "Jumlah 200 hektar itu, bukan bukan atas nama saya pribadi tapi ada keluarga," ungkapnya. 

Sementara itu, Teresius yang merupakan perwakilan warga Kelimutu mengatakan dari pengakuan Rasyid sudah ada titik terang yang menyatakan ada warga Kalimutu di dalamnya. Menurutnya, sejak tahun 2004 lalu, warga Kalimutu melakukan garapan. Bahkan sudah punya tanam tumbuh dan pondok. 

"Nah, dari tahun 2004 hingga sekarang, kami tidak tahu ada percabutan itu. Kami kaget, lahan warga Kalimutu ditarik dan diberikan kembali kepada Rasyid. Tidak ada juga pertemuan. Dan, kami baru tahu lahan itu terjual di tahun 2020," jelasnya. 

Pjs Kades Binusan Dalam, Asrianyah mengatakan memang ada beberapa suku yang mendiami wilayah tersebut. "Tapi, saya belum tahu pasti dimana letaknya. Hanya saja, SPPT yang terbit itu dari tahun 2004-2006 lalu. Untuk pengusuran oleh si pembeli, saya belum tahu, bahkan dijualnya kapan kita nggak tahu. 

Menurutnya, lahan yang tergusur kurang lebih milik 55 warga. "Untuk warga Kalimutu menang disana menempati, namun akses belum ada, akhirnya mereka kembali ke pinggir kota," tambahnya. 

Hal yang sama diungkapkan oleh Kades Binusan, Rudi Hartono. Dia mengatakan persoalan ini sudah beberapa dilakukan pertemuan namun tidak menemukan titik terang. Menurutnya, ada sekitar 42 lahan petak lahan disana terjual, diantarnaya 22 memiliki SPPT dan 22 tidak ada namun mereka tahu posisi letak lahannya. 

"Akhirnya di bawa ke desa Induk. Dua kali pertemuan, pak Rasyid ini tidak hadir. Tapi tetap sama sehingga dibawa ke hearing," tambahnya. 

Kabag Pemerintah, Pemkab Nunukan, H Surai mengungkapkan mengenai permasalaj ini pemerintah berada di tengah. Sehingga, dalam mengambil keputusan ada rambu rambu yang menjadi acuan. 

Menurutnya, SPPT itu hanya pengakuan seorang warga yang dilaporkan ke RT dan desa. "Itu pengakuan sepihak. Kemudian turun desa melihat ada masalah atau tidak. Makanya terbitlah sptp yang ditandatangani kades. Dengan catatan apabila ada gugatan maka menjadi tanggungjawab yang membuat peryataan," jelasnya. 

Untuk mengklaim pengusaan lahan, jata dia, memang harus menggarap dengan mempertimbangkan masyarakat di tempat itu. Menguasai tanah bukan karena surat tapi adanya garapan dan hak hak asal usul. 

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Nunukan, H Saleh mengaku telah menghubungi pengusaha tersebut. Dia menegaskan ada yang perlu diluruskan untuk menegak UU 5 tahun 1960 tetang pertanahan. Sebab, pengusaha tersebut mengakui mengarap secara pribadi dan bukan perusahan. 

"Nah, dari tahun itu hingga sekarang bunyinya tetap sama. Setiap masyarakat dia memiliki batas tanah maksimal 20 hektar," jelasnya. 

Sementara dari pembahasan hearing menyebutkan ada perusahan di dalam. "Tapi, pengusaha ini tidak mengakui ada perusaahan di dalam. Jadi ini persoalan besar. Artinya, kalau pribadi dia hanya batas 20 hektar beda kalau perusahan bisa capai ribuan hektar," ujarnya. 

Dari kesimpulan pembahasan ini, Andre Pratama selaku pimpinan rapat komisi I DPRD Nunukan, mengungkapkan akan menbentuk pansus terkait sengketa lahan tersebut. "Nanti kita akan menyurati pengusaha itu agar menghentikan sementara pengoperasian alat berat sementara yang ada di lapangan sampai sengketa lahan ini selesai," jelasnya. 

Tak hanya itu, pihaknya juga meminta kepada seluruh masyarakat Binusan Dalam termasuk Kades dan intansi terkait untuk menberikan semua data terkait lahan tersebut. "Nanti kita pelajari semuanya," tutupnya.(ITn)