JABARONLINE.COM – Nasib ribuan warga di dua kecamatan, Nanggung dan Leuwisadeng, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, kini terkatung-katung di atas jembatan gantung lapuk sepanjang 65 meter. 

Sementara keselamatan mereka dipertaruhkan setiap hari, janji pembangunan dari wakil rakyat di DPR RI justru menguap menjadi sekadar basa-basi politik yang minim empati dan aksi nyata.

​Jembatan vital yang melintasi Sungai Cikaniki ini sudah lama menjadi objek survei berbagai instansi negara, dari Kementerian PU hingga DPKPP Kabupaten Bogor. 

Namun, sorotan tajam kini tertuju pada Marlin Maesyarah, Anggota DPR RI Dapil V dari Fraksi Gerindra, yang sebelumnya menjanjikan proyek ini masuk dalam program ‘aspirasi’nya.

​Survei sudah dilakukan, katanya masuk program aspirasi Ibu Marlin Maesyarah," ungkap Kepala Desa Kalong Liud, Jani Nurjaman, yang merasa diberi harapan palsu. Faktanya, hingga Oktober 2025, pembangunan tak kunjung terlihat batang hidungnya.

​Di tengah keresahan warga yang merasa mobilitas dan ekonomi mereka lumpuh karena akses yang membahayakan, respons dari wakil rakyat justru menimbulkan kekecewaan mendalam.

Saat dikonfirmasi wartawan pada 22 September 2025, Anggota Dewan Marlin Maesyarah hanya memberikan tanggapan super-singkat, menunjukkan minimnya detail, komitmen, atau bahkan permintaan maaf atas keterlambatan yang terjadi.
​"Waalaikumsalam, harusnya sih tahun ini,” balasnya melalui pesan singkat.

​Kalimat ini dinilai warga sebagai indikasi 'lepas tangan' atau minimnya follow-up serius di tengah dinamika anggaran dan birokrasi di tingkat kementerian. 

Janji aspirasi yang seharusnya menjadi legacy politik bagi konstituen, kini justru menjadi bumerang yang menampar kepercayaan rakyat.

​Kekacauan janji dari tingkat pusat ini diperparah dengan dilema di tingkat Pemerintah Kabupaten Bogor. Kepala Dinas DPKPP Kabupaten Bogor, Eko Murjianto, mengakui pihaknya juga menargetkan pembangunan jembatan rawayan (gantung) di daerahnya, namun terkendala bentangan jembatan Nanggung–Leuwisadeng yang terlalu panjang.

​"Kalau dari DPKPP Kabupaten Bogor masih menunggu anggaran perubahan, hanya nanti pelaksanaannya akan kita bangun jembatan rawayan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat," ujar Eko.

​Ia kemudian memaparkan kondisi "serba salah" yang menunjukkan betapa proyek vital ini terlempar-lempar di antara prioritas daerah, 
​"Karna jembatan rawayan yang rencana akan di bangun melalui DPKPP Kabupaten Bogor sebanyak 5 lokasi, dan. Apabila nanti harus kita bangun di lokasi Leuwisadeng akan mengurangi jumlah bangunan yang kita rencanakan, karna di Leuwisadeng bentangan jembatannya sangat panjang sehingga akan mengurangi jembatan yang mau dibangun," katanya.

​"Apabila tidak mau mengurangi target jembatan rawayan di perubahan anggaran sebanyak 5 unit, maka akan kita usulkan di tahun anggaran 2026," papar Eko Murjianto kepada wartawan.

​Pengakuan ini menegaskan bahwa jembatan 65 meter yang membahayakan warga ini menjadi korban bentrokan kepentingan dan hitungan kaku anggaran. 

Solusi dari Pemkab Bogor hanya dua: memangkas jatah 4 jembatan lain demi satu jembatan vital ini, atau menunda hingga tahun 2026, membiarkan warga kian lama terancam.

​Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar. Seberapa serius Anggota Dewan Maesyarah mengawal aspirasi infrastruktur krusial ini, jika janji dari pusat hanya berakhir menjadi beban di meja Pemkab Bogor? 

Jawaban yang dibutuhkan warga Nanggung dan Leuwisadeng bukanlah dugaan ("harusnya sih") atau pertimbangan politis, melainkan kepastian yang menyelamatkan nyawa mereka.***