JABARONLINE.COM - Senyum polos anak itu kini terbaring lesu di ranjang rumah sakit. Seorang remaja berusia 15 tahun, dengan keterbatasan yang seharusnya membuatnya dilindungi, justru menjadi korban amukan massa. Ia kini koma, tubuhnya dipenuhi luka, harapan keluarganya terkoyak oleh kejadian tragis di Desa Tegalwaru, Kecamatan Cilamaya Wetan, Karawang, Jawa Barat.

Pesta Garleta, kakak korban, dengan suara bergetar menceritakan pilunya kondisi sang adik. Ia mengungkapkan bahwa adiknya memiliki disabilitas mental dan kesulitan berkomunikasi. Keterbatasan ekonomi keluarga semakin menambah berat beban yang harus dipikul.

"Saya mohon bantuannya, saya dari keluarga juga seadanya, karena dia enggak ada orangtuanya, diangkat ibu saya dari kecil," kata Pesta di RSUD Karawang, Kamis (6/11/2025).

Menurut keterangan kepolisian, kejadian bermula ketika korban diduga hendak membuka pintu dan masuk ke rumah warga. Ketidakmampuan korban untuk berkomunikasi diduga memicu kesalahpahaman yang berujung pada tindakan brutal.

"Kemarin masuk lagi ke rumah orang ditanya enggak jawab-jawab, akhirnya dikeroyok," ujar Pesta.

Ironisnya, karena dianggap sebagai korban kejahatan, biaya pengobatan anak disabilitas ini tidak ditanggung oleh BPJS Kesehatan. Ia kini berjuang untuk hidup, bergantung pada alat bantu pernapasan, dengan luka parah di kepala dan paha.

Pesta menceritakan bahwa adiknya memang sering pergi dari rumah tanpa pamit. Namun, di Purwakarta, warga sekitar sudah memahami kondisinya dan berusaha untuk mengantisipasi hal tersebut.

"Pernah kabur ke Karawang diamankan di rumah singgah dinsos," ucapnya.

Korban adalah siswa kelas VII di sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) di Purwakarta. Pihak sekolah menjelaskan bahwa ia mengalami tunagrahita disertai gangguan emosi dan perilaku, yang membuatnya kesulitan mengendalikan diri dan beradaptasi dengan lingkungan.

Pekerja Sosial Ahli Pertama Dinas Kesehatan Karawang, Asep Riyadi, menjelaskan bahwa korban tiba di RSUD pada Rabu (6/10/2015) sekitar pukul 04.00 WIB dan awalnya tidak teridentifikasi.

Kisah ini adalah tamparan keras bagi kita semua. Bagaimana mungkin seseorang dengan keterbatasan, yang seharusnya mendapatkan perlindungan, justru menjadi korban kekerasan? Pertanyaan ini terus menghantui, menuntut jawaban dan tindakan nyata agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Semoga keadilan berpihak pada anak ini, dan ia segera pulih dari trauma yang mendalam ini. (H. Ibra)