JABARONLINE.COM - Keputusan krusial yang menggarisbawahi komitmen serius pemerintah Indonesia dalam memerangi penyalahgunaan zat psikoaktif baru telah resmi diumumkan. Etomidate, zat yang semula dikenal sebagai anestesi intravena kuat, kini secara definitif diklasifikasikan sebagai Narkotika Golongan II menyusul maraknya temuan penyalahgunaan zat tersebut yang dicampur ke dalam cairan rokok elektrik atau vape.

Pengumuman resmi ini, merupakan hasil koordinasi intensif antara Badan Narkotika Nasional (BNN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menandai perubahan signifikan dalam landasan hukum penanganan zat terlarang di Indonesia, menempatkan Etomidate sejajar dengan morfin dan beberapa jenis amfetamin yang memiliki potensi ketergantungan tinggi namun masih dibutuhkan dalam pelayanan medis terbatas.

Klasifikasi Etomidate sebagai Narkotika Golongan II ini bukan sekadar pembaruan administratif, melainkan sebuah respons tegas terhadap fenomena baru yang mengancam kesehatan masyarakat, khususnya generasi muda pengguna vape.

Penyelundupan dan diversifikasi Etomidate dari jalur farmasi legal ke pasar gelap, di mana ia diolah menjadi cairan vape dengan efek halusinogen dan sedatif yang kuat, telah memicu kekhawatiran nasional. Dengan penetapan status baru ini, seluruh aktivitas yang berkaitan dengan Etomidate di luar kepentingan medis yang ketat—mulai dari produksi, impor, distribusi, hingga kepemilikan tanpa izin—secara otomatis akan tunduk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, membawa konsekuensi hukuman pidana yang sangat berat.

Latar Belakang Klinis dan Kronologi Penyalahgunaan

Etomidate (R-Etomidate) adalah obat bius non-barbiturat yang bekerja cepat, umumnya digunakan dalam prosedur medis untuk induksi anestesi umum karena sifatnya yang relatif stabil pada sistem kardiovaskular.

Secara klinis, Etomidate tidak diklasifikasikan sebagai narkotika atau psikotropika di banyak yurisdiksi, termasuk Indonesia sebelumnya, melainkan sebagai obat keras yang penggunaannya harus di bawah pengawasan dokter spesialis anestesi.

Zat ini bekerja dengan mempotensiasi efek neurotransmitter GABA di otak, menghasilkan efek sedasi mendalam dan hipnosis.

Namun, di tangan para pengedar gelap, karakteristik Etomidate diubah total. Sejak akhir tahun 2022 dan semakin masif di tahun 2023, BNN dan Kepolisian mulai mendeteksi peningkatan signifikan kasus penyalahgunaan Etomidate yang disuntikkan atau dicampur ke dalam cairan liquid vape.

Para pengedar menyasar komunitas pengguna vape yang mencari sensasi baru. Efek yang dirasakan pengguna Etomidate aerosolized ini bervariasi, mulai dari euforia singkat, disorientasi, hingga efek "zunghap" atau halusinasi yang intens, diikuti dengan sedasi yang mendalam. Efek samping yang paling berbahaya adalah depresi pernapasan akut, terutama jika dicampur dengan zat lain atau dikonsumsi dalam dosis tinggi.

Puncak dari kekhawatiran ini terjadi setelah serangkaian penggerebekan besar di beberapa kota metropolitan, termasuk Jakarta, Surabaya, dan Bandung, dimana aparat menemukan fasilitas produksi rumahan yang secara ilegal mengolah Etomidate murni—yang diduga kuat berasal dari jalur distribusi farmasi yang bocor atau impor ilegal—menjadi ribuan botol cairan vape siap edar.

Hasil uji laboratorium forensik memastikan bahwa konsentrasi Etomidate dalam cairan tersebut jauh melampaui batas aman, menjadikannya zat adiktif yang sangat berbahaya. Temuan ini menjadi dasar kuat bagi Kemenkes untuk segera merevisi lampiran daftar Narkotika dan Psikotropika.

Landasan Hukum dan Implikasi Klasifikasi Golongan II

Keputusan penetapan Etomidate sebagai Narkotika Golongan II diresmikan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) terbaru, yang secara efektif menambahkan zat ini ke dalam daftar lampiran UU Narkotika. Dalam konteks hukum Indonesia, Narkotika Golongan II adalah zat yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dalam terapi, atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, serta memiliki potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Implikasi dari klasifikasi ini sangat luas dan menyentuh seluruh rantai pasok. Bagi para pelaku yang terlibat dalam produksi, pengedaran, atau impor Etomidate tanpa izin Kemenkes dan BNN, mereka dapat dijerat dengan Pasal 112 hingga Pasal 114 UU Narkotika. Ancaman hukuman minimum adalah 5 tahun penjara, dan bagi produsen atau bandar yang terbukti memproduksi Etomidate dalam jumlah besar, hukuman mati atau penjara seumur hidup dapat dijatuhkan, sesuai dengan beratnya kejahatan dan dampak yang ditimbulkan.

Kepala Biro Hukum BNN, dalam konferensi pers virtual yang diadakan pasca pengumuman, menegaskan bahwa diskresi hukum terhadap Etomidate kini telah hilang. "Sebelumnya, penangkapan terhadap pengedar Etomidate hanya bisa dijerat dengan UU Kesehatan atau UU Psikotropika, yang ancaman hukumannya relatif lebih ringan. Kini, dengan status Narkotika Golongan II, kita memiliki instrumen hukum yang jauh lebih kuat untuk memberikan efek jera yang maksimal," ujar beliau.

Penetapan status ini juga memberikan mandat baru kepada BPOM untuk memperketat pengawasan impor dan distribusi bahan baku farmasi. Etomidate yang sah hanya boleh didistribusikan kepada rumah sakit atau fasilitas kesehatan tertentu yang memiliki izin khusus untuk penyimpanan narkotika. Sistem pelaporan dan pencatatan penggunaan harus diintegrasikan secara digital dan diawasi secara real-time untuk mencegah kebocoran (diversion).

Analisis Risiko Kesehatan Publik: Mengapa Vape Etomidate Berbahaya?

Pakar farmakologi dan toksikologi menyambut baik langkah pemerintah ini, menekankan bahwa rute administrasi Etomidate melalui aerosol (vape) meningkatkan risiko kesehatan secara eksponensial. Dr. Risa Saraswati, seorang toksikolog klinis dari Universitas terkemuka, menjelaskan bahwa penghirupan zat melalui paru-paru menghasilkan penyerapan yang sangat cepat ke dalam aliran darah dan langsung menuju otak (first-pass effect di paru-paru), menghasilkan efek puncak yang jauh lebih intens dan cepat dibandingkan rute intravena.

"Ketika Etomidate disuntikkan di rumah sakit, dosisnya sangat terukur dan pasien dimonitor ketat karena risiko depresi pernapasan. Dalam cairan vape ilegal, dosisnya tidak terkontrol. Pengguna menghirup zat ini langsung ke alveoli paru-paru, menyebabkan efek rush yang sangat cepat, namun juga meningkatkan risiko henti napas secara mendadak," jelas Dr. Risa.

Ia menambahkan bahwa penggunaan berulang Etomidate, meskipun belum ada studi jangka panjang yang spesifik mengenai Etomidate aerosolized, dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis yang parah, serta kerusakan kognitif jangka panjang.

Selain bahaya fisik, terdapat risiko kesehatan mental yang signifikan. Pengguna yang mencari sensasi dari Etomidate vape sering kali tidak menyadari bahwa mereka mengonsumsi narkotika yang dapat memicu kondisi psikotik atau memperburuk gangguan mental yang sudah ada. Fenomena ini menambah kompleksitas penanganan kecanduan di Indonesia, di mana narkotika kini dapat disamarkan dalam bentuk produk sehari-hari yang mudah diakses.

Respons Industri dan Tantangan Pengawasan Hulu ke Hilir

Keputusan pemerintah ini memberikan tekanan besar pada industri rokok elektrik yang sah di Indonesia. Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menyatakan dukungan penuh terhadap langkah BNN dan Kemenkes, menekankan bahwa penyalahgunaan Etomidate adalah kejahatan farmasi dan narkotika yang merusak citra industri vape yang legal.

Namun, tantangan terbesar terletak pada pengawasan hulu ke hilir. Etomidate yang digunakan dalam vape ilegal umumnya berasal dari dua sumber: impor ilegal bahan baku murni (serbuk) atau penyimpangan dari stok farmasi domestik. Pengawasan terhadap impor bahan baku kimia di pelabuhan harus diperketat oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Di sisi lain, Kemenkes harus bekerja sama dengan BPOM dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk mengaudit secara berkala penggunaan Etomidate di fasilitas kesehatan agar tidak terjadi kebocoran ke pasar gelap.

"Ini adalah perang melawan penyelundupan obat, bukan hanya perang melawan vape," ujar seorang pejabat Kementerian Perdagangan. 

"Kami perlu memastikan bahwa liquid vape yang beredar di pasaran, baik yang diproduksi domestik maupun impor, hanya mengandung bahan-bahan yang telah disetujui, seperti propilen glikol, gliserin nabati, dan perisa makanan. Setiap zat yang bersifat psikoaktif harus diperiksa ketat."

Tantangan lain adalah adaptasi cepat para pengedar. Ketika satu zat diklasifikasikan sebagai narkotika, jaringan kriminal seringkali segera beralih ke New Psychoactive Substances (NPS) lain yang belum terdaftar atau yang dikenal sebagai NPS analog. BNN harus tetap waspada dan memiliki mekanisme respons cepat untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan zat-zat baru yang dimodifikasi secara kimiawi untuk menghindari jerat hukum.

Peran Pendidikan dan Rehabilitasi

Meskipun fokus utama klasifikasi Golongan II adalah penegakan hukum yang keras terhadap produsen dan pengedar, pemerintah juga menekankan pentingnya aspek rehabilitasi bagi para pengguna. Pengguna yang terbukti positif Etomidate vape dan melaporkan diri secara sukarela atau ditangkap tanpa barang bukti dalam jumlah besar, tetap diutamakan untuk menjalani rehabilitasi sesuai dengan amanat UU Narkotika.

Edukasi publik menjadi kunci. Banyak pengguna, terutama remaja, mungkin tidak menyadari bahwa cairan yang mereka hisap mengandung narkotika Golongan II yang setara bahayanya dengan kokain atau morfin. Kampanye kesadaran harus diluncurkan secara masif, tidak hanya berfokus pada bahaya narkoba tradisional, tetapi juga pada risiko NPS yang disamarkan dalam produk modern. BNN perlu berkolaborasi dengan sekolah, kampus, dan platform media sosial untuk menyebarkan informasi mengenai bahaya Etomidate dan konsekuensi hukumnya.

Pemerintah juga mendorong orang tua untuk lebih proaktif dalam memantau perilaku anak-anak mereka, mengingat kemudahan akses dan sifat produk vape yang tampak "tidak berbahaya" di mata awam. Deteksi dini penyalahgunaan zat baru ini memerlukan kewaspadaan kolektif dari seluruh elemen masyarakat.***

Sumber : Berbagai Sumber