JABARONLINE.COM – Konflik agraria kembali mencuat di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor. Dua desa, yakni Sukaharja dan Sukamulya, menjadi sorotan setelah terungkap sengketa kepemilikan lahan seluas 800 hektare yang melibatkan pihak swasta dan warga desa. Menteri Yandri Susanto menegaskan bahwa negara telah menyita aset milik pengusaha yang diduga terlibat dalam praktik manipulatif sejak tahun 1980-an.
"Pengusaha sudah dipidana, makanya asetnya disita. Tapi bisa saja nanti ada tambahan aset yang ikut disita, tergantung perkembangan kasusnya," ujar Yandri saat ditemui di lokasi. Kamis (2/10/2025).
Ia menyebut, fokus pemerintah saat ini adalah pada perlindungan hak masyarakat desa. "Urusan pengusaha, itu wilayah penegak hukum. Kami mengurus hak-hak masyarakat desa," tegasnya.
Yandri juga menyoroti dugaan praktik kongkalikong antara pihak perbankan dan perusahaan dalam menjadikan lahan di kawasan pegunungan tersebut sebagai agunan. "Bayangkan, tahun 80-an akses ke sini saja sulit. Tiba-tiba 800 hektare bisa jadi agunan. Tidak masuk akal kalau tidak ada kerja sama terselubung antara bank dan perusahaan Gunung Batu milik Liudermawan," ungkapnya.
Sementara itu, pemerintah desa sendiri membantah pernah menerbitkan girik atau dokumen kepemilikan atas lahan tersebut. “Kalau pihak desa nggak ada, ini murni antara bank dengan pihak perusahaan,” lanjut Yandri.
Di sisi lain, warga seperti Ibu Umi, pemilik tanah di Desa Sukaharja, menyampaikan keresahannya akibat status lahan yang tak kunjung jelas.
“Kami tidak bisa bikin sertifikat hak milik. Mau naik sertifikat nggak bisa, karena dianggap milik perusahaan. Kami merasa diklaim sepihak oleh pihak swasta,” ujarnya.
Menurut Umi, keluarganya memiliki total lahan pribadi sekitar dua ribu meter persegi, sebagian berstatus AJB, SHM, hingga HGB. Namun proses administrasi pertanahan terhambat akibat status hukum lahan yang dipersengketakan.
“Harapan kami, pemerintah segera membuka akses legalitas yang sebenarnya, agar kami bisa mengurus hak tanah kami sendiri dan tidak lagi diatasnamakan oleh perusahaan atau koperasi yang tidak kami kenal,” kata Umi.
Ia juga mengungkap bahwa sudah bertahun-tahun dirinya tidak bisa melakukan proses pembayaran pajak secara normal karena legalitas lahan yang digantung.
“Bayar pajak sih mungkin bisa, tapi tanpa legalitas yang sah, percuma juga. Kami ingin kejelasan hukum.” ujar Umi.
Warga berharap agar pemerintah, melalui kementerian terkait dan aparat penegak hukum (APH), segera menuntaskan polemik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun ini. Selain menjamin hak masyarakat, penyelesaian juga dinilai penting agar tidak terjadi konflik horizontal yang berkepanjangan.***