JABARONLINE.COM– Tim Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) yang terdiri atas dosen dan mahasiswa Program Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (FPIPS) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Implementasi Pendidikan Aqil-Baligh untuk Mencegah Terjadinya Pernikahan Dini.”

Kegiatan ini dilaksanakan di Kantor Desa Paku Haji, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, pada Sabtu (25/10/2025).

FGD ini menjadi bagian dari kegiatan PkM Program Studi Pendidikan Sosiologi UPI yang bertujuan membentuk pola asuh orang tua sebagai upaya pencegahan kenakalan remaja dan pergaulan bebas yang berpotensi menyebabkan pernikahan dini.

“Banyak remaja belum memahami fungsi naluri seksual, sehingga menyalurkannya secara keliru. Akibatnya, muncul kasus pergaulan bebas yang berujung pada kehamilan pranikah,” ujar Dr. Siti Komariah, Ph.D, Sekretaris Program Studi Pendidikan Sosiologi UPI.

Menurut sosiolog lulusan Universiti Malaya, Kuala Lumpur, tersebut, salah satu penyebab utama pernikahan dini adalah minimnya komunikasi antara orang tua dan anak terkait pendidikan seksualitas.

“Sebagian orang tua masih menganggap tabu membicarakan seksualitas. Anak akhirnya belajar dari media yang tidak islami. Ketika terjadi kehamilan pranikah, keluarga memilih jalan pintas menikahkan anak, padahal mereka belum siap secara mental dan ekonomi,” tambahnya.

Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), angka perkawinan anak secara nasional menurun dari 10,35% pada 2020–2021 menjadi 6,92% pada 2023. Sementara itu, data Kementerian Agama menunjukkan jumlah pasangan menikah di bawah usia 19 tahun juga turun, dari 8.804 pasangan pada 2022 menjadi 4.150 pasangan pada 2024.

Meski menurun, kasus perkawinan anak masih menjadi persoalan serius. Di Jawa Barat, prevalensi pernikahan anak mencapai 5,78% pada 2024.

“Data ini perlu menjadi perhatian kita bersama,” tegas Dr. Siti Komariah. “Praktik pernikahan dini tidak hanya melanggar Undang-Undang Perkawinan No. 16 Tahun 2019, tetapi juga berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan jangka panjang anak.”

FGD yang dihadiri oleh perangkat Desa Paku Haji, ibu-ibu PKK, serta para remaja putri ini menyoroti pentingnya pendidikan aqil-baligh dan tarbiyah jinsiyyah di lingkungan keluarga.

Dr. Siti menjelaskan bahwa keluarga merupakan tempat pertama anak belajar tentang adab, aurat, pergaulan, dan tanggung jawab melalui pola parenting Islami dan komunikasi terbuka.

“Tarbiyah jinsiyyah adalah proses pendidikan yang membimbing anak dan remaja agar memahami serta mengelola naluri seksualnya sesuai ajaran Islam, nilai moral, dan tanggung jawab sosial,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa pernikahan dini kerap terjadi karena kegagalan dalam tarbiyah jinsiyyah — kurangnya pemahaman tentang seksualitas, tanggung jawab, dan tujuan pernikahan. Pendidikan yang benar akan melatih remaja mengendalikan nafsu, menghindari zina dan kehamilan pranikah, serta menikah pada waktu yang tepat setelah matang fisik, mental, dan ekonomi.

“Pendidikan aqil-baligh dan tarbiyah jinsiyyah bukan mengajarkan seks, melainkan menanamkan kesadaran bahwa seks adalah amanah Allah yang harus dijaga hingga halal dan dijalani dengan tanggung jawab,” tutup Dr. Siti Komariah.***