JABARONLINE.COM - Guru dikenal sebagai sosok yang mengajarkan nilai kejujuran, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Namun, ironisnya, di balik citra mulia itu, muncul fenomena memprihatinkan — pungutan liar yang dilakukan oleh oknum guru terhadap rekan seprofesi sendiri, hanya karena urusan dana sertifikasi.

Kasus seperti ini bukan sekadar soal uang. Ia adalah cermin buram dari krisis moral dan mentalitas dalam dunia pendidikan. Bagaimana mungkin seorang pendidik yang seharusnya menanamkan nilai integritas justru tega menekan rekan sejawatnya untuk menyetor uang “tanda terima kasih”? Lebih ironis lagi, praktik ini sering dibungkus dengan alasan “kebiasaan lama” atau “tanda solidaritas”.

Padahal, dana sertifikasi bukan hadiah, melainkan hak atas kerja keras guru dalam meningkatkan kompetensi dan kualitas pembelajaran. Ketika hak itu dipotong secara tidak sah, pesan moral yang tersisa hanyalah bahwa kejujuran bisa ditawar dan solidaritas bisa dijual.

Fenomena ini menandakan ada yang salah dalam budaya profesional di sebagian lingkungan pendidikan. Banyak guru masih terjebak dalam hierarki informal yang membuat junior enggan menolak permintaan senior. Di sisi lain, ada rasa takut — takut dikucilkan, takut urusannya dipersulit, atau takut dicap tidak menghormati rekan kerja.

Namun, selama ketakutan itu terus dibiarkan, praktik pungli akan terus hidup dalam senyap. Dan ketika para guru sendiri mulai kehilangan keberanian untuk menegakkan kejujuran, maka yang paling dirugikan adalah generasi muda — murid-murid yang melihat dan belajar dari contoh di sekelilingnya.

Perlu disadari, guru bukan hanya pengajar, tetapi juga panutan moral. Sekecil apa pun penyimpangan yang terjadi, dampaknya bisa besar terhadap kepercayaan publik pada profesi guru.

Reformasi pendidikan tidak hanya soal kurikulum dan fasilitas, tetapi juga tentang membenahi mentalitas para pelaku pendidikan di dalamnya. 

Sudah saatnya dunia pendidikan melakukan introspeksi. Jangan sampai guru yang seharusnya menjadi pembimbing justru menjadi pelaku yang menekan sesamanya. Sebab ketika guru menjadi korban guru, maka makna sejati dari kata pendidik itu sendiri mulai memudar.

Penulis : Wil