JABARONLINE.COM – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menyatakan komitmennya untuk membela hak-hak warga di dua desa di Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, yang terdampak kasus pengagunan lahan oleh pihak swasta. Dalam kunjungan langsung ke lokasi, Dedi menegaskan akan segera menjalin komunikasi intensif dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) guna menyelesaikan persoalan yang telah mencuat ke publik.

"Saya akan berjuang untuk memperjuangkan kepentingan warga. Kami akan segera berkomunikasi dengan Menteri Kehutanan,” tegas Dedi saat menemui warga, Jumat (26/9).

Dedi juga mengungkapkan bahwa tim kuasa hukum telah disiapkan untuk mendampingi warga, termasuk mereka yang kini berstatus tersangka akibat konflik pertanahan tersebut.

“Tim kuasa hukumnya sudah disiapkan, termasuk pendampingan hukum bagi warga yang sedang menghadapi proses hukum,” tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Gubernur Dedi menegaskan bahwa dukungan hukum akan diberikan secara menyeluruh kepada seluruh warga terdampak. Ia menutup pertemuan dengan janji yang menenangkan dan penuh keyakinan:

"Udah, nanti saya bantu kok. Insya Allah, palurahnya juga akan terus berkomunikasi. Sampai jumpa,” ujarnya sambil berpamitan.

Kasus ini bermula dari dugaan pengagunan lahan milik dua desa, yakni Desa Sukaharja dan Desa Sukamulya, ke lembaga keuangan oleh pihak swasta. Dugaan tersebut pertama kali mencuat dalam rapat Komisi V DPR RI bersama Kementerian Desa (Kemendes), yang menyebut sekitar 800 hektare lahan desa telah dilelang oleh bank.

Namun, tidak semua desa di Kecamatan Sukamakmur terkait dengan kasus pengagunan tersebut.

Kepala Desa Sukawangi, Budiyanto, menegaskan bahwa wilayahnya tidak termasuk dalam kasus agunan lahan yang ramai diperbincangkan. Menurutnya, Desa Sukawangi justru menghadapi persoalan berbeda, yakni klaim dari KLHK yang menyatakan seluruh wilayah desa masuk dalam kawasan hutan produksi berdasarkan SK Menhut No. 6435/Menhut-VII/KUH/2014.

"Desa Sukawangi bukan diagunkan ke pihak swasta. Tapi seluruh wilayah kami seluas 2.252 hektare justru diklaim sebagai kawasan hutan produksi Gunung Hambalang Barat dan Timur,” tegas Budiyanto, Senin (22/9).

Ia menjelaskan bahwa situasi ini membingungkan warga. Pasalnya, mereka tetap diwajibkan membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan bahkan telah memiliki sertifikat resmi melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Namun, di sisi lain, lahan mereka justru disebut sebagai kawasan hutan oleh KLHK.

"Bagaimana mungkin warga membayar PBB dan punya sertifikat, tapi lahannya disebut kawasan hutan? Bahkan sempat ada pemasangan stiker larangan penggunaan lahan oleh petugas Gakkum di beberapa objek wisata,” tambahnya.

Budiyanto berharap pemerintah pusat, termasuk Presiden Prabowo Subianto, turun langsung menangani persoalan tersebut. Ia menyebut, jumlah penduduk di desanya mencapai lebih dari 14 ribu jiwa, dan tidak masuk akal jika seluruh wilayah desa diklaim sebagai hutan produksi.

“Kami mohon perhatian Presiden. Apalagi beliau juga punya kediaman pribadi di Sukawangi. Tidak masuk akal kalau satu desa seluruhnya disebut kawasan hutan produksi,” pungkasnya.***