JABARONLINE.COM-- Di tengah langit Dayeuhkolot yang mendung, Bupati Bandung Dadang Supriatna melangkah pelan menapaki jembatan baru di Kampung Lamajang Peuntas, Desa Citeureup, Selasa siang, 28 Oktober 2025.
Di bawahnya, Sungai Cigede mengalir tenang—airnya memantulkan bayangan jembatan beton dan baja sepanjang 12 meter, yang kini menjadi kebanggaan warga Lamajang.
Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) Lamajang itu bukan sekadar lintasan penghubung dua kampung. Di balik struktur senilai Rp600 juta dari APBD Kabupaten Bandung itu, tersimpan harapan agar genangan dan banjir musiman di kawasan Dayeuhkolot pelan-pelan menjadi kenangan.
“Dulu setiap hujan deras, air sungai naik dan sampah nyangkut di bawah jembatan. Sekarang, karena jembatannya lebih tinggi, air bisa mengalir lancar tanpa hambatan,” ujar Dadang Supriatna, yang akrab disapa Kang DS, dalam sambutannya.
Dayeuhkolot sejak lama dikenal sebagai langganan banjir di selatan Bandung. Setiap kali Sungai Citarum dan anak-anak sungainya meluap, rumah-rumah di tepi sungai tak luput dari genangan. Pemerintah Kabupaten Bandung, kata Kang DS, mencoba menekan risiko itu lewat pembangunan dan peninggian jembatan, serta perbaikan tanggul.
“Alhamdulillah, setelah JPO Lamajang dan tanggul sepanjang 70 meter di sekitar sungai diperbaiki, kawasan ini tak lagi kebanjiran,” katanya. “Perbaikan infrastruktur sederhana seperti ini ternyata memberi dampak besar."
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kabupaten Bandung, Zeis Zultaqawa, menuturkan proyek JPO Lamajang sempat dihadapkan pada keterbatasan anggaran. Namun, menurutnya, Bupati tetap meminta agar proyek infrastruktur yang menyentuh langsung kebutuhan warga tidak ditunda.
“Pak Bupati menekankan, efisiensi boleh, tapi pelayanan publik jangan dikorbankan,” ujar Zeis. “Beliau bahkan tak terlalu mempermasalahkan soal kewenangan. Meski wilayah tanggul Sungai Cigede ini sebenarnya urusan Balai Besar Wilayah Sungai Citarum, Pemkab Bandung tetap turun tangan.”
Warga Lamajang pun menyambut gembira jembatan baru itu. Anak-anak kini bisa menyeberang dengan aman menuju sekolah, dan pedagang kecil lebih mudah mengangkut dagangan ke seberang kampung. Namun Zeis mengingatkan, keberlangsungan jembatan itu bergantung pada perawatan masyarakat sendiri.
“Jembatan ini milik bersama. Kalau dijaga, akan awet dan manfaatnya panjang,” katanya.
Di tepi Sungai Cigede, suara air yang mengalir kini terdengar lebih lembut. Tak lagi ada tumpukan sampah di bawah jembatan, tak ada lagi genangan di halaman rumah warga. Bagi orang Lamajang, JPO itu bukan cuma jembatan beton—ia adalah simbol kecil dari perubahan besar yang sedang tumbuh di tepian Citarum.