Strategi Public Relations Politik Pemerintah Prabowo dalam Menangani Berbagai Krisis Program Makan Bergizi Gratis
Oleh Kevin William Andri Siahaan, S.Pd
Mahasiswa Pascasarjana Studi Humanitas, Universitas PGRI Sumatera Barat/Peneliti Ahli Madya BRIN
Pengantar
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh pemerintah Prabowo-Gibran sejak Januari 2025 mendapatkan sorotan tajam dari publik dan media akibat berbagai kendala operasional dan kontroversi, seperti insiden keracunan massal dan keterlambatan pembayaran mitra penyedia makanan. Hasil analisis menunjukkan bahwa KKK lebih dominan menggunakan strategi defensif berupa penyangkalan parsial dan pembenaran (justification), serta penguatan citra positif (bolstering), dibandingkan pengakuan kesalahan dan permintaan maaf yang direkomendasikan untuk krisis preventable. Strategi korektif dilakukan secara terbatas dan tidak selalu dikomunikasikan secara transparan. Pendekatan komunikasi yang cenderung performatif ini efektif menahan eskalasi krisis dalam jangka pendek, namun tidak berhasil memulihkan kepercayaan publik secara menyeluruh, ditandai oleh persistensi sentimen negatif dan skeptisisme masyarakat. Studi ini menggarisbawahi pentingnya integrasi antara teori komunikasi krisis dengan dinamika politik praktis dalam pengelolaan isu publik di pemerintahan. Implikasi praktisnya meliputi kebutuhan akan komunikasi krisis yang lebih proaktif, transparan, empatik, dan koordinasi antar lembaga yang konsisten agar program populis seperti MBG dapat berhasil secara substansial dan berkelanjutan.
Isi
Setelah pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pada 20 Oktober 2024 , pemerintahan baru segera berfokus memenuhi janji-janji kampanye melalui program-program prioritas. Salah satunya adalah program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diinisiasi oleh Badan Gizi Nasional (BGN). Program MBG bertujuan mendukung visi untuk “...membangun fondasi generasi mendatang yang sehat, cerdas, dan tangguh...” (Badan Gizi Nasional, 2025) serta menjadi “...langkah konkret untuk memberikan perlindungan sosial…”. Artinya, MBG diharapkan tidak hanya memberikan nutrisi gratis bagi kelompok rentan (anak sekolah, ibu hamil, dll.), tetapi juga menjadi wujud komitmen pemerintah dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial. Para pemangku kepentingan awalnya memandang MBG sebagai momentum positif pemerintah untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya gizi dan membentuk kebiasaan makan sehat di masyarakat. Namun, sejak implementasinya secara serentak pada 6 Januari 2025 (Badan Gizi Nasional, 2025), MBG mendapat sorotan media dan publik yang beragam, cenderung kritis. Merujuk kepada penelitian yang dilakukan oleh Saputra dan Hasan (Fitri, Ichsan, & Yunita, 2024) menemukan sentimen warganet di media sosial X (Twitter) terhadap MBG didominasi opini negatif lebih dari 80%, meskipun terdapat pula opini positif yang mengapresiasi tujuan program untuk peningkatan gizi anak dan ekonomi keluarga. Demikian pula, analisis terbaru oleh Triningsih et al. (2025) atas 2.400 cuitan Twitter menunjukkan 46% sentimen negatif – terutama terkait besarnya anggaran program – jauh melampaui sentimen positif (sekitar 35%) dan netral. Hal ini mencerminkan adanya kekhawatiran publik yang serius meski niat program dianggap mulia. Ekspektasi positif pemerintah terhadap MBG sayangnya tidak berbanding lurus dengan pemberitaan yang berkembang di media. Berbagai masalah pelaksanaan muncul di hari-hari awal. Laporan Tempo mengungkap adanya insiden penerima makanan MBG mengalami keracunan massal, serta keluhan pemilik dapur yang belum menerima pembayaran setelah memenuhi pesanan Selain itu, besarnya biaya operasional program – mencapai Rp71 triliun setahun – dinilai sangat signifikan dan membebani anggaran negara. Kondisi ini menimbulkan desakan agar pelaksanaan program dapat lebih dipertanggungjawabkan. Pihak pemerintah melalui Kepala BGN, Dadan Hindayana, merespons kritik dengan menyatakan bahwa program “...sebagian besar lancar, aman...”, seolah menekankan bahwa persoalan yang ada bersifat kasuistis dan bukan kegagalan menyeluruh.
Bagi pemerintahan Prabowo-Gibran, keberhasilan program-program unggulan seperti MBG menjadi tolak ukur penting kinerja dan reputasi di mata publik. Kantor Komunikasi Kepresidenan (KKK) – juga dikenal sebagai Presidential Communication Office – dibentuk melalui Peraturan Presiden No. 82 Tahun 2024 untuk mengelola komunikasi strategis kebijakan Presiden. KKK berperan tidak hanya mendistribusikan informasi, tetapi membangun narasi guna mengurangi dampak reputasi buruk apabila suatu kebijakan dipersepsikan gagal. Dengan kata lain, KKK menjalankan fungsi kehumasan pemerintah yang proaktif dalam manajemen isu dan krisis, demi mempertahankan citra positif Presiden sebagai pemimpin yang kredibel. Dalam konteks program MBG yang menuai pro dan kontra tajam di masyarakat, tim KKK berada di garis depan upaya pengendalian krisis untuk menjaga persepsi publik tetap positif. Dengan kata lain, meskipun MBG lahir dari janji politik yang populer, tanpa manajemen yang mumpuni ia justru menghadirkan krisis kepercayaan. Kondisi ini menyoroti tantangan khusus dalam komunikasi krisis pemerintahan: KKK tidak hanya menghadapi kritik atas kebijakan substansinya, tetapi juga potensi krisis kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Situasi demikian menuntut strategi komunikasi yang lebih baik, yang bukan sekadar berorientasi jangka pendek pada pencitraan, melainkan mampu memulihkan kepercayaan publik secara substansial. Selain di ranah media sosial, hasil kajian penulis pemberitaan program MBG di media daring nasional. Dengan menggunakan analisis pembingkaian (framing) Entman, mereka membandingkan cara Liputan6.com dan Republika.co.id membingkai isu pemotongan anggaran MBG. Hasilnya menunjukkan perbedaan mencolok: Liputan6.com cenderung membingkai secara positif dengan menekankan rasionalisasi pemerintah dan upaya memperluas jangkauan program, sedangkan Republika.co.id lebih menyoroti kekhawatiran publik terkait potensi penurunan kualitas makanan dan keadilan program. Temuan Triana & Amali ini mengindikasikan bahwa media dapat membawa bias atau sudut pandang berbeda – beberapa media terkesan mendukung narasi pemerintah, sementara lainnya kritis mewakili suara publik. Meskipun demikian, kedua pendekatan studi di atas (analisis sentimen kuantitatif dan pembingkaian media) belum secara spesifik menjelaskan bagaimana pemerintah sendiri berstrategi dalam komunikasi krisis.

Analisis konten terhadap lima portal berita utama menunjukkan bahwa program MBG mendapat sorotan media yang signifikan sejak hari pertama peluncurannya. Dalam periode 6 Januari – 18 Mei 2025, ditemukan tidak kurang dari 50 artikel berita yang relevan dengan MBG dan krisis yang melingkupinya. Pemberitaan secara umum bernada kritis, menyoroti berbagai masalah dan kontroversi program. Sejumlah isu utama yang muncul berulang dalam liputan media antara lain: (1) insiden keracunan makanan pada penerima MBG, (2) keterlambatan atau gagal bayarnya honor para mitra penyedia makanan (dapur umum), (3) pemangkasan besaran anggaran per porsi dari Rp15.000 menjadi Rp10.000, serta (4) kekhawatiran akan efektivitas dan keberlanjutan program mengingat biaya besar yang digelontorkan. Media seperti Tempo, KBR, dan CNN Indonesia cenderung mengangkat sudut pandang para korban dan pengamat dengan nada negatif, misalnya menggunakan diksi “kisruh” untuk menggambarkan jalannya program. Sementara itu, media lain seperti TVOne dan beberapa portal berita arus utama kerap menyisipkan pernyataan pejabat guna memberikan imbang balik atas kritik, walau tetap melaporkan fakta masalah yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa meskipun MBG dimulai dengan narasi pemerintah yang ambisius, media massa lebih banyak memberitakan realisasi di lapangan yang penuh tantangan.
Salah satu krisis pertama yang mencuat adalah kasus keracunan massal siswa sekolah dasar di Sukoharjo, Jawa Tengah, setelah menyantap makanan dari program MBG pada pertengahan Januari 2025. Kejadian ini dilaporkan luas, termasuk oleh Tempo (Muhammad Ishak Syahadat, Iriyani Astuti Arief, & Efrianto, 2025) dan Detik. Media menggambarkan kepanikan orang tua dan siswa, mempertanyakan standar keamanan makanan program yang dijalankan tergesa-gesa. Dari perspektif SCCT, insiden ini termasuk preventable crisis karena publik menilainya sebagai akibat kelalaian (seharusnya kualitas dan higienitas makanan bisa dijaga lebih baik). Menariknya, tidak ada pernyataan permintaan maaf publik yang ditemukan dari pejabat KKK/BGN atas insiden ini. KKK tampak menyangkal signifikansi masalah dengan menyatakan bahwa kasus tersebut “terbatas dan telah ditangani” dan menegaskan sebagian besar penyelenggaraan MBG tetap berjalan aman. Strategi ini termasuk kategori diminusi – berupaya mengecilkan persepsi publik atas tingkat keparahan krisis. Di sisi lain, upaya tindakan korektif dilakukan secara teknis: BGN berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat untuk menyelidiki penyebab keracunan dan memastikan peristiwa serupa tidak terulang. Namun, langkah korektif ini kurang dikomunikasikan secara luas kepada publik. Ketiadaan komunikasi rebuild (misal permintaan maaf langsung) berpotensi membuat publik merasa pemerintah abai, walau di balik layar mungkin perbaikan dilakukan.
Krisis berikutnya adalah keluhan dari para pemilik dapur atau warung yang menjadi mitra penyedia makanan MBG di berbagai daerah. Hingga beberapa minggu setelah program berjalan, sejumlah mitra mengaku belum menerima pembayaran atas jasa mereka, padahal mereka telah mengeluarkan modal untuk memasak dalam skala besar setiap hari. Masalah ini memicu ancaman penghentian layanan dari beberapa dapur dan protes terselubung. Media nasional menyorot isu ini sekitar Februari–Maret 2025, menyebut adanya “kisruh internal” dalam mekanisme MBG. Pihak oposisi pun menggunakan momentum ini untuk mengkritik kompetensi pemerintah mengelola program. Menanggapi krisis finansial-administratif ini, strategi komunikasi KKK lebih akomodatif. BGN melalui Kepala-nya menyatakan akan mengevaluasi mekanisme pembayaran para mitra dan segera memperbaikinya. Pernyataan ini mengandung elemen corrective action, suatu langkah rekonstruksi sesuai anjuran SCCT untuk krisis preventable. Bahkan pada awal Maret 2025, BGN mengumumkan perubahan pembayaran dari sebelumnya reimbursement menjadi pembayaran langsung di muka setiap bulannya, guna memastikan arus kas para mitra terjaga. Tantangan komunikasi krisis lainnya muncul ketika pemerintah memutuskan memangkas anggaran per porsi MBG dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 pada awal April 2025. Kebijakan ini sontak menimbulkan kontroversi karena dianggap akan menurunkan kualitas gizi makanan yang diberikan, dan dipertanyakan komitmen pemerintah terhadap janji awal.
Tabel 1. Ringkasan insiden utama dalam krisis MBG, klasifikasi krisis, dan strategi respons KKK yang teridentifikasi
Insiden/Isu | Klasifikasi Krisis (SCCT) | Respons KKK (Strategi Komunikasi) Baca Juga: Jerat ITE: Belenggu Jurnalis Menulis Fakta | Implikasi |
Keracunan massal penerima MBG di Jawa Tengah | Preventable (kegagalan operasional yang dapat dicegah) | ● Denial/diminishMengklaim kasus terlokalisir, program “tetap aman dan lancar”. ● Corrective action Investigasi penyebab, koordinasi penanganan medis lokal. | Publik khawatir terhadap keamanan program; ketiadaan permintaan maaf membuat pemerintah terkesan kurang empati. |
Keterlambatan pembayaran mitra dapur | Preventable (kelalaian manajemen internal) | ● Justification Menyebut kendala teknis administrasi. ● Corrective action: Evaluasi dan ubah mekanisme pembayaran (dari reimburse ke bayar di muka). | Mitra merasa diperhatikan setelah ada solusi; namun citra profesionalisme pemerintah sempat tercoreng akibat masalah ini. |
Pemotongan anggaran per porsi (Rp15rb ke Rp10rb) | Preventable (kebijakan populis tidak berkelanjutan) | ● Justification Alasan efisiensi agar lebih banyak penerima terlayani. ● Bolstering Tekankan program tetap berjalan & manfaat luas (hubungkan ke visi pengentasan stunting). | Sebagian publik menerima alasan efisiensi, tapi banyak yang meragukan kualitas pelayanan; isu ini memicu perdebatan politik tentang keseriusan janji kampanye. |
Klaim kesuksesan dan narasi populis pemerintah | Preventable (krisis kepercayaan akibat kesenjangan janji-realita) | Bolstering Cerita sukses individual, penekanan niat baik Presiden. Denial Minim pengakuan atas kelemahan, kritik dianggap berlebihan. | Basis pendukung tetap termobilisasi dengan narasi positif; kalangan kritis menilai pemerintah tidak transparan, potensi erosi trust jangka panjang. |
Terlihat bahwa strategi komunikasi krisis KKK didominasi oleh upaya mempertahankan citra melalui penyangkalan parsial dan pembenaran, alih-alih pendekatan minta maaf atau pengakuan kesalahan. Hanya dalam isu yang mengancam keberlangsungan program (seperti pembayaran mitra), pemerintah menunjukkan respons rekonstruksi yang nyata. Ketidaksesuaian strategi dengan tipe krisis ini dapat menghambat pemulihan kepercayaan publik.
Apakah strategi yang dijalankan KKK efektif? Secara jangka pendek, pemerintah berhasil mencegah krisis MBG eskalatif hingga level penghentian program. Program MBG tetap berjalan (tidak dibatalkan), bahkan terus diperluas secara geografis meski anggaran per penerima dipangkas. Komunikasi KKK menekankan aspek positif mungkin berkontribusi menjaga dukungan politis agar program tetap hidup. Namun, dampak jangka panjang terhadap kepercayaan patut dipertanyakan. Sentimen negatif publik masih terpantau tinggi berbulan-bulan setelah peluncuran, menandakan banyak pihak belum puas dengan penjelasan pemerintah. Kredibilitas pemerintah juga bisa terdampak: jika setiap kritik hanya dijawab dengan klaim “semua terkendali” tanpa transparansi, publikum berisiko menjadi apatis atau sinis terhadap informasi resmi. Secara praktis, beberapa implikasi dapat diambil bagi para pengambil kebijakan dan praktisi humas pemerintah: (1) Pemerintah perlu lebih proaktif dalam manajemen isu sejak dini. Program MBG seharusnya diiringi identifikasi potensi krisis dan rencana komunikasi darurat sebelum peluncuran, sehingga ketika tanda-tanda masalah muncul (misal kualitas makanan, mekanisme pembayaran), respons komunikatif sudah disiapkan. (2) Pentingnya transparansi dan empati dalam komunikasi krisis. Ketika insiden yang terjadi merugikan masyarakat, langkah sederhana seperti mengakui kekurangan dan meminta maaf secara terbuka dapat meningkatkan kepercayaan dibanding sekadar menyatakan semuanya baik-baik saja. Budaya untuk tidak mengakui kesalahan perlu diubah karena dalam kacamata publik, pengakuan justru menunjukkan tanggung jawab. (3) Konsistensi pesan dan koordinasi lintas lembaga. Dalam kasus MBG, KKK dan BGN harus satu suara dalam memberikan informasi. Informasi tentang langkah perbaikan, panduan keamanan makanan, atau perubahan kebijakan hendaknya disampaikan secara terpadu dan mudah diakses publik untuk mencegah kesimpangsiuran. (4) Mengintegrasikan pendekatan partisipatif dalam komunikasi. Alih-alih satu arah, pemerintah dapat merangkul tokoh masyarakat, ahli gizi, atau organisasi sipil untuk bersama-sama menjelaskan manfaat program sekaligus memberi masukan perbaikan. Pendekatan multivokal semacam ini mampu mendukung retorika pemerintah dengan legitimasi dari pihak ketiga, sebagaimana diusung oleh RAT.
Harapannya ialah pihak pemerintah dapat belajar dari pengalaman MBG ini bahwa komunikasi krisis yang efektif adalah bagian tak terpisahkan dari keberhasilan kebijakan publik. Program sebaik apapun konsepnya bisa gagal meraih dukungan apabila komunikasi atas masalahnya buruk. Maka, investasi pada kapasitas humas pemerintah – mulai dari pelatihan SCCT, simulasi krisis, hingga pemanfaatan media digital secara bijak – menjadi krusial.