“Suara Wildan tidak berteriak untuk didengar — ia berbisik agar direnungi.”

Di tengah dunia musik yang riuh dengan gema autotune dan kejar-viral, hadir sosok yang memilih jalan sunyi: Wildan F. Mubarock. Dosen, penulis, sekaligus penyair ini memadukan dunia puisi dan musik dalam proyek puitik-musikal bertajuk Senandung Mubarock × Nyanyian Diksatrasia — sebuah dialog antara kata, nada, dan renungan spiritual.

Dari Ruang Kelas ke Panggung Puisi

Wildan bukan musisi yang lahir dari industri, melainkan dari ruang kelas dan ruang baca. Ia mengajar sastra di universitas, menulis disertasi tentang pembelajaran puisi berbasis proyek dan alih wahana, lalu mempraktikkannya sendiri: menjadikan puisi sebagai proyek hidup yang dihidupkan lewat musik.
Kolaborasinya dengan musisi muda dan penyair kampus melahirkan komposisi yang melintasi batas antara akademia dan ekspresi personal.

Vokal yang Menyampaikan Keheningan

Dalam setiap penampilannya, suara Wildan bukan sekadar instrumen, melainkan medium refleksi.
Ia bernyanyi seolah membaca doa — lembut, dalam, dan sadar makna.
Nada-nadanya tidak menonjolkan teknik, tetapi kejujuran rasa: intonasi stabil, pengendalian napas baik, dan warna suara hangat dengan sedikit serak alami yang memberi karakter khas pada setiap lagu.
Ketika berduet dengan Putri, harmoni vokal keduanya menghadirkan keseimbangan antara keteduhan dan cahaya — Wildan sebagai bumi, Putri sebagai langit.

Puisi yang Menjadi Lagu

Dalam lagu-lagu seperti “Engkaulah Ibu”, “Nyanyian Diksatrasia”, dan “Senandung Mubarock”, puisi bertransformasi menjadi lagu yang dapat dinikmati tanpa kehilangan kedalaman makna.
Wildan menulis dan menyanyikan puisi bukan untuk menghibur, tetapi untuk menyembuhkan.
Nada-nada gitar, denting biola, dan keheningan di antara bait menjadi ruang bagi pendengar untuk merenung — sebuah pengalaman spiritual yang jarang ditemui dalam musik populer.

Sastra, Musik, dan Spiritualitas

Wildan percaya bahwa sastra dan musik bukan dua dunia terpisah, melainkan dua jalan menuju keheningan batin.
Proyek Senandung Mubarock adalah bentuk pendidikan estetika yang hidup, di mana mahasiswa, dosen, dan masyarakat belajar melalui rasa dan bunyi.
Dalam setiap nada, ia menanamkan pesan: bahwa pendidikan sejati bukan sekadar memahami teks, tetapi menghidupkannya.

Penutup

Kini, nama Wildan F. Mubarock mulai dikenal bukan hanya sebagai akademisi sastra, tetapi juga sebagai penyanyi puisi kontemplatif Indonesia.
Ia tak mengejar panggung megah, namun memilih ruang-ruang kecil tempat kata dan nada bisa saling mendengar.
Dan di sanalah, barangkali, makna sejati dari “senandung” itu bersemayam — suara yang berbisik, agar direnungi.

Suara yang Berbisik: Profil Wildan F. Mubarock, Pendidik dan Penyair di Balik Senandung Mubarock

“Suara Wildan tidak berteriak untuk didengar — ia berbisik agar direnungi.”

Dalam dunia yang semakin bising oleh musik digital dan algoritma viral, Wildan F. Mubarock memilih jalur berbeda.
Dosen, penyair, dan peneliti pendidikan sastra di Universitas Pakuan ini memadukan suara, puisi, dan spiritualitas dalam proyek musik-puitik bertajuk Senandung Mubarock × Nyanyian Diksatrasia — karya yang merekam perjalanan rasa antara kata dan nada.

Suara yang Tumbuh dari Puisi

Wildan dikenal sebagai akademisi yang gemar bereksperimen. Dalam kesehariannya mengajar apresiasi sastra, ia tidak hanya membedah teks, tetapi juga menghidupkannya kembali lewat musik.
Lirik-lirik puisinya kemudian diolah menjadi lagu dengan warna vokal lembut, artikulasi jelas, dan intonasi terkontrol.
Nada-nadanya mengalir tenang — tidak meledak-ledak, tetapi sarat makna. “Saya tidak ingin bernyanyi untuk memamerkan suara, tetapi untuk mengantarkan makna,” ujarnya dalam satu sesi rekaman.

Dari Ruang Kuliah ke Ruang Nada

Proyek Senandung Mubarock lahir dari penelitian disertasinya tentang model pembelajaran puisi berbasis proyek dengan bantuan alih wahana.
Alih wahana ini diwujudkan dengan mengubah puisi menjadi lagu, menjadikan mahasiswa bukan hanya pembaca teks, tetapi juga pencipta karya.
“Puisi harus hidup di luar kertas,” tutur Wildan. “Dan musik adalah napas yang bisa membuatnya berdenyut.”

Kolaborasi dengan Putri dan Generasi Diksatrasia

Dalam kolaborasinya bersama Putri, Wildan membangun harmoni yang menyejukkan.
Vokal Wildan yang hangat dan reflektif berpadu dengan suara Putri yang bening dan ekspresif, menciptakan keseimbangan antara keteduhan dan semangat muda.
Duet mereka dalam lagu “Engkaulah Ibu” dan “Nyanyian Diksatrasia” menjadi simbol pertemuan antara pengalaman dan harapan, antara guru dan murid, antara puisi dan kehidupan.

Sastra, Musik, dan Spiritualitas

Lebih dari sekadar karya seni, Senandung Mubarock adalah gerakan kecil dalam pendidikan sastra: menghidupkan kembali makna, rasa, dan nilai spiritual di ruang akademik.
Wildan percaya bahwa musik bisa menjadi jembatan menuju pemahaman batin.
“Ketika kita menyanyikan puisi, kita tidak sekadar membaca, tetapi mengalaminya,” katanya.

Refleksi dan Harapan

Kini, Wildan F. Mubarock dikenal bukan hanya di ruang kuliah, tetapi juga di ruang-ruang apresiasi sastra kampus.
Melalui suara yang berbisik, ia mengajak pendengar merenungi kehidupan, kesunyian, dan makna kata.
Ia membuktikan bahwa pendidikan sastra dapat lahir kembali — bukan sebagai teori, melainkan sebagai senandung yang hidup.